Thursday 18 February 2010

Ghosts of Girlfriends Past

Ada apa nih? Kok kayaknya ide cerita di dunia perfilman makin seret? Kebanyakan film yang keluar belakangan ini mengadaptasi dari novel [ato bahkan dari film laen].

Di awal film saya masi [sedikit] antusias nonton ini film. Tapi begitu adegan Connor Mead -tokoh utama- ketemu hantu pamannya yang nyampein kalo bakal ada 3 hantu ngedatengin dia, saya langsung keinget sesuatu. Err, seperti... film pertama yang kami review, mungkin?

Saya tidak akan menyebut judul film tersebut. Lama-lama Anda juga akan sadar. Yang pasti, dugaan saya benar; ternyata film ini mengadaptasi persis konsep film 'satunya' itu yang juga diangkat dari dongeng anak-anak. Bahkan beberapa adegan betul-betul dicontek sama persis. Tipe hantu yang datang juga sama; hantu masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Kalau boleh jujur, saya kecewa dengan film ini. Mengadaptasi konsep yang nggak cocok dengan tema film, yaitu pria yang nggak percaya cinta. Akibatnya fatal. Nilai moral yang disajikan film ini kebanting dengan nilai moral yang disajikan film satunya. Inti cerita ini tidak berbobot...

Friday 11 December 2009

Paranormal Activity

Saya sangat tidak menduga film ini dibikin dengan konsep film dokumenter. Makanya, jauh banget dari harapan saya. Tapi gapapa. Ide ini sangat unik. Walaupun di satu sisi, konsep ini malah menjatuhkan film di awal cerita, di mana alur berjalan sangat statis. Kedua tokoh utama [tokoh sepanjang film...namanya juga dokumenter rumahan] baru pindah ke sebuah rumah untuk tinggal bersama. Khususnya, untuk menyelidiki 'pengikut' si tokoh perempuan, Katie. Kira-kira setengah jam pertama, kedua tokoh hanya berdialog dan bergurau. Mending berbobot, ini hanya menampilkan pembicaraan sehari-hari. Setelah itu ada wawancara dengan semacam 'dukun' [saya lupa istilahnya di Barat sana apa] yang memberi saran-saran. Barulah mulai malam pertama...

Tiap malam, posisi kamera yang dipakai tokoh untuk mendokumentasikan kegiatan mereka selalu menyorot ranjang yang di sampingnya pintu yang menuju ke lorong dan tangga ke lantai 1. Pada malam pertama, terjadi kejadian paranormal yang...

biasa saja. Bisa dibilang bukannya menjadi ice breaker, malah membuat film terkesan makin statis. Demikian seterusnya malam demi malam dilalui pasangan tersebut, kejadian demi kejadian berlanjut diiringi intensitas horor yang makin meningkat.

Film ini tidak dianjurkan untuk mereka yang penakut dari sananya, karena dijamin 'trauma' tiap kali waktu dalam film itu malam menuju subuh, di mana sang arwah dijadwalkan untuk unjuk rasa. Di lain sisi, kapan sang arwah akan tampil tertebak sehingga penonton bisa mempersiapkan mental. Namun sekali lagi, bagi mereka yang tak tahan, mau tak mau akan trauma dan menutup mata kala momen-momen menegangkan itu mulai [atau malah sepanjang film... ;p].

Bagi penonton bermental baja dan penikmat film bergenre horor, dijamin tidak puas. Kejadian yang benar-benar di luar batas konvensional film-film paranormal adalah 2 malam terakhir. Yang satu karena kejadiannya ekstrim, yang satunya karena memang itu 'malam puncak' film.

Bagi mereka yang 'netral', alias tidak mengharapkan akan ditakut-takuti film ini, mungkin akan menikmati alurnya yang makin lama makin memuncak. Selain itu, film ini menggebrak jejeran film horor lain yang cenderung 'menampilkan' unsur horor dalam bentuk yang kasat mata. Yah, namanya juga aktivitas paranormal... Apa yang mau diperlihatkan selain gerakan benda-benda kasat mata yang sebenarnya disebabkan arwah tidak kasat mata?

Tuesday 8 December 2009

Old Dogs


Judulnya saja sudah old dogs. Secara harafiah, tidak ada yang baru dari film Disney's besutan sutradara Walt Becker ini. Dan benar, film yang berusaha dipenuhi dengan unsur komedi ini punya alur cerita yang mudah ditebak.

Duo pebisnis yang sudah bersahabat sejak lama tiba-tiba dibuat panik dengan kehadiran sepasang anak kembar hasil hubungan one-night stand-nya dengan seorang perempuan di masa lalu. The sudden dad (Robin Williams) yang anti anak kecil dan sahabatnya yang womanizer (John Travolta) harus menghadapi berbagai jet-lag tentang pola pengasuhan anak yang pada akhirnya harus memilih antara karir dan keluarga.

Seperti film-film keluarga kebanyakan, Old Dogs seperti memaksakan family values yang ada dalam beberapa adegan. Komedinya juga tipikal dan tidak elegan. Padahal, saya sudah terkesan dengan fast paced yang berada pada adegan-adegan awal film.

Semakin ke belakang, Old Dogs terkesan dibuat secara terburu-buru. Hal ini dirasakan lewat munculnya banyak adegan dan penokohan yang biarpun fiktif namun tak beralasan.

Namun Old Dogs tak sepenuhnya buruk. Seperti slogannya "Sit. Stay. Play Dad." penonton tidak beranjak dari kursi bioskop yang dingin. Penonton dibuat lupa dengan operasi jantung Robin Williams sebelumnya atau meninggalnya anak lelaki John Travolta pada awal tahun ini.

Old Dogs mungkin bukan film keluarga yang baik. Tidak cocok untuk orang dewasa, tidak sesuai pula untuk anak-anak. Tetapi Old Dogs sepertinya cocok bagi remaja yang baru saja menghadapi ujian akhir semester.

Friday 4 December 2009

Ninja Assassin


Ahh, saya pikir tema ninja itu cuma dipake untuk komik Jepang atau anime. Ternyata ada juga yang tertarik buat mengangkat 'legenda' yang satu itu menjadi film. Ga nanggung-nanggung, yang berani mengangkat itu adalah produser yang sama dengan film The Matrix.

Konsep menarik, didukung efek yang luar biasa (dlihat dari trailer-nya). Kayaknya menarik banget buat ditonton bareng temen-temen, terutama mereka yang berselera film sadis. Tapi mau ga mau saya kecewa karena film ini jauh dari harapan saya. Singkat kata, lebih seru nonton trailer-nya daripada nonton filmnya.

Panjang kata, plot cerita yang terlalu standar dan adegan-adegan yang terlalu ketebak membuat film ini agak membosankan sehingga menyia-nyiakan konsep cerita dan efek nampolnya itu. Padahal sudah diramu dengan alur flashback. Pola cerita-cerita seperti ini memang selalu tertebak; di mana tokoh utama lelaki yang bernama Raizo ini kemudian didampingi perempuan cantik dan pintar, lalu dalam beberapa adegan kepepet alias nyaris dibunuh tapi datanglah si 'pendamping' ini menyelamatkan dia, atau motif si ninja yang dikejar satu clan yang sudah biasa, yaitu balas dendam. Sebenarnya, bila Anda hanya mencari laga yang keren dan kreatifitas kesadisan dari sebuah film tanpa tertarik untuk memerhatikan jalan cerita, film ini pas untuk Anda. Dan btw, soal laga, menurut saya laga dalam film ini masih kurang banyak... Kalo mau jahat, film Kung Fu Panda aja bisa dibilang lebih ada gregetnya. Hahaha, no offense but it's the truth... xp

Ada satu hal yang membuat saya antusias ketika menonton film ini: klimaksnya. Ternyata mereka cukup cerdas untuk menyimpan setting tempat dengan bumbu efek dan sinematografi terbaiknya untuk pertarungan akhir si ninja melawan gurunya. Dibanding tempat bertarung lain dalam film ini, bahkan film-film lain, setting tempat pertarungan klimaks film ini memiliki nilai seni dan kreatifitas tersendiri; apalagi aksi-aksi Raizo dan gurunya ketika bertarung. Tapi, sekali lagi, adegan cerita yang tertebak [dan memang terjadi seperti dugaan] menghancurkan klimaks yang artistik ini. Tidak etis bila saya menceritakan apa yang terjadi dengan klimaks tersebut di sini karena akan membuat Anda rugi. Walaupun begitu, klimaknya tetep must-watch deh!

Selain masalah cerita, tokoh ini juga memiliki masalah tokoh yang akut. Kenapa saya bilang akut? Karena tokoh yang salah pemeran tak lain tak bukan adalah tokoh utamanya! Ah itu fatal sekali. Memang sih pemeran Raizo adalah Rain, si penyanyi terkenal itu. Tapi namanya juga penyanyi, tentu saja beda haluan dengan ninja pembunuh. Aura garang dan psychotic tidak terpancar sama sekali dari Raizo sepanjang cerita ini, kecuali ketika ia berlumuran darah; tapi sayangnya itu tidak keluar dari si pemeran tokoh sendiri, itu keluar dari make-up artist.

Sekali lagi saya tekankan, film ini mungkin kurang cocok untuk:
1. ANAK KECIL,
2. mereka yang ga tahan liat darah maupun adegan sadis, dan
3. mereka yang cenderung memperhatikan alur cerita.

Film ini cocok buat:
1. mereka yang 'haus darah'... suka adegan sadis maksudnya, dan
2. mereka yang suka film action, apalagi penggemar ninja.

Tuesday 24 November 2009

A Christmas Carol

Denger judulnya mungkin yang terpampang di kepala Anda film model The Grinch atau film Natal lainnya. Bedanya, film ini meracik tema natal tsb dengan sedikit bumbu horor dan pelajaran yang cukup relevan untuk orang-orang jaman sekarang.

Imajinasinya sih hebat banget dan ide ceritanya menarik. Kebayang ga sih tiap hari Natal itu punya arwah tersendiri. Ada yang namanya arwah Natal Masa Lalu berkepala lilin, arwah Natal Masa Sekarang yang doyan ketawa [sinis], dan arwah Natal Masa yang Akan Datang yang mirip malaikat pencabut nyawa dengan kereta kudanya yang kewl abis itu. Haha. Bersama ketiga arwah tsb tokoh utama kita, Ebenezer, belajar tentang hidupnya sambil 'berkeliling' dalam bayangan masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Sayang, animasi film ini kurang mendukung imajinasi dan ide cerita yang sebenarnya bombastis itu. Ekspresi dan gerakan tokoh terkadang terlihat canggung dan masih kaku. Padahal gestur atau mimik muka tokoh sudah bagus; hampir menyerupai manusia asli, setidaknya untuk ukuran film animasi.

Tapi tunggu. Ada dua faktor utama lain yang membuat film ini worth your time: karakter tokoh dan dialog. Karakter tokoh-tokoh dalam cerita ini kuat dan konsisten sehingga pesan yang mau disampaikan film ini atau adegan tertentu jelas. Pasti suka deh sama tokoh-tokoh film ini, karena jaman sekarang mayoritas film terlalu fokus dengan alur cerita hingga melupakan karakteristik tokoh yang unik dan personal. Dialog, ga usah ditanya, bagus!

Itu soal teknis film. Sekarang isinya.

Film ini bercerita tentang seorang pria yang materialistis. Saking fokusnya dengan bisnis, ia sampai melupakan relasi dengan sesamanya. Money-oriented... Bukan sesuatu yang jarang ditemukan pada orang-orang di dunia nyata, ya ga? Itulah tulang punggung jalan cerita film ini: hal-hal duniawi terkadang membuat orang lupa akan kepentingan sesamanya.

Walau mengandung makna dalam, hal tersebut menimbulkan satu kelemahan dalam film ini. Di satu sisi, pesan yang terkandung dalam film ini bisa mem'bangun'kan minimal remaja sampai orang dewasa untuk jangan terlalu materialistis, walau dikemas dalam bentuk yang mungkin membosankan bagi orang-orang tersebut. Di lain sisi, anak-anak kecil mungkin belum menangkap pesan sebenarnya dalam film ini (paling banter mereka hanya mendapat pelajaran seperti "jangan galak-galak seperti si Ebenezer, nanti ga punya temen" atau semacamnya) namun pembawaan alur ceritanya yang imajinatif bisa membuat mereka enjoy dengan film ini.

Overall, film ini termasuk bagus. Salah satu keberhasilan film ini yang menurut gue oke banget adalah film ini berhasil menciptakan klimaks dari rangkaian flashback, yang apabila tidak hati-hati dalam merangkai bisa membuat film ini membosankan. Sesuatu yang acap kali gagal diterapkan dalam beberapa film baru-baru ini [saya ga akan menyebut judul filmnya X)]. Akhir kata, WAJIB tonton versi 3Dnya! Dan... apalagi kalo ditayanginnya pas Natal yah. Lebih 'kena' lagi nih! Hahaha...

NB:
ada moral lain yang bisa ditangkap: beramal baiklah sebelum waktumu tiba, kau takkan pernah tahu kapan saat itu datang. belakangan film yang nongol di bioskop memancarkan aura moral yang mirip yah... sebut saja... 2012, maybe? ;)

please welcome...

the newborn movie review blog..!!

haha.
follow us @ twitter..
rollingjim

enjoy ur time at every visit,
and dont be shy to share your thoughts and opinion.